Friday, March 25, 2011

catatan tanggal 23 Maret 2011

BAHAGIA MENJADI (ATAU MUNGKIN MASIH???) LAJANG…

Bagi seorang wanita pada umumnya, melajang dalam usia matang sungguh tak nyaman. Betapa pun, menikah adalah kebutuhan fitrah setiap manusia. Tidak terpenuhinya kebutuhan ini sangat bisa jadi menjadi penyebab guncangan jiwa yang bersangkutan. Ditambah lagi budaya dan paradigma yang berkembang di masyarakat yang memojokkan wanita lajang. Perawan tua, tidak laku dan kalimat-kalimat semacamnya menjadi label bagi mereka yang belum menikah. Belum lagi tuntutan dan pertanyaan dari keluarga dan tetangga kiri-kanan tiap ketemu yang bikin sebal,” Kapan menikah?”

Bagi seorang wanita normal, keluarga dan anak-anak adalah harapan dan cita-cita. Keluarga adalah tempat mengabdi yang membawa ketenangan. Anak-anak adalah amanah yang membawa kebahagiaan. Sangat wajar, jika setiap wanita menginginkan adanya fase menikah dalam hidupnya. Tapi masalahnya, menikah tidak bisa dilaksanakan secara sepihak. Menikah membutuhkan pasangan, yang dalam situasi, kondisi dan masa tertentu tidak mudah ditemukan. Karena kriteria yang tak sepadan, karena kuantitas yang tak terpenuhi, maupun karena takdir belum menentukan. Seperti pada masa sekarang, saat wanita lajang di usia matang hampir menjadi fenomena.

Lantas bagaimana?
Bersabar, menunggu dan bertakwa kepada keputusan Allah. Itu yang banyak saya dengar, dan saya sepakati pula. Hal ini barangkali hikmah diperbolehkannya poligami oleh kaum pria, dan mungkin sudah tiba masanya. Ini pendapat lain, yang saya juga tidak menolaknya. Namun, apakah hanya itu? Saya kira masih ada alternatif lain, yang lebih progresif bukan pasif dan bisa dilakukan secara mandiri oleh seorang wanita. Saya teringat sebuah kisah tentang seorang muslimah perkasa di punggung Gunung Kidul. Wanita itu sangat aktif utamanya dalam kegiatan dakwah dan sosial. Dengan sepeda motornya ia menjelajahi pelosok desa, mengisi kajian dan memberikan penyuluhan di kampung-kampung miskin dan desa-desa terpencil. Ia menjadi panutan, ia menjadi konsultan, ia menjadi acuan, ia menjadi tempat orang-orang lugu itu meminta nasihat. Muslimah itu, masih lajang dalam usianya yang 35 tahun. Muslimah itu, mengasuh tiga anak yatim dengan kemampuannya sendiri. Muslimah itu, tidak kesepian karena ia punya ‘keluarga’. Wanita itu tak kehilangan fitrah kewanitaannya karena ia punya ‘anak-anak’ tempat ia mencurahkan cinta dan perhatian. Muslimah itu tidak digugat kesendiriannya karena ia menebar manfaat.

Membaca kisahnya, banyak inspirasi yang bisa diambil oleh kaum wanita, dan saya pun ingin meneladaninya. Apa yang dilakukan muslimah tersebut bisa menjadi salah satu alternatif jawaban atas problema banyaknya wanita-muslimah khususnya- berusia matang yang belum menikah. Apa yang dilakukan si muslimah perkasa, memberikan hikmah yang banyak bagi kemanusiaan.

Jika kita renungKan, menjadi lajang bukanlah sebuah aib dan dukacita. Menjadi lajang membuka pintu-pintu amal dan manfaat bagi diri dan masyarakat, seperti halnya yang dilakukan si muslimah. Seorang wanita lajang akan lebih mudah bergerak dan beraktifitas karena ia tak dibebani tugas-tugas kerumahtanggaan. Seorang wanita lajang akan bisa lebih banyak berbakti kepada masyarakat dengan modal waktu, peluang dan kemampuan yang ia miliki. Berapa banyak selama ini aktifitas sosial masyarakat yang mandeg karena ditinggal pengasuhnya (yang seorang wanita) menikah? Berapa banyak aktifitas yang masih terus berkembang karena penyandangnya ‘alhamdulillah’ masih lajang dan punya waktu banyak untuk berkomitmen?

Lantas bagaimana memenuhi kebutuhan fitrah sebagai wanita? Bukankah pintu tebuka lebar juga? Lihat, betapa banyak anak-anak di dunia ini yang butuh asuhan, pendidikan dan usapan tangan lembut kaum wanita? Apalagi di Jakarta yang sedemikian tua dan menyimpan banyak problema terutama berkaitan dengan anak jalanan, anak miskin, anak yatim dan anak-anak yang kurang dalam pendidikan dan asuhan.

Dalam kesendirian dan kemandirian kaum wanita, barangkali Allah memang mengirimkan mereka untuk anak-anak tak mampu, untuk dididik, untuk diasuh. Mereka adalah anak-anak kita juga, begitu Emha Ainun Najib pernah mengatakan dalam salah satu tulisannya di buku Markesot Bertutur. Anak-anak sesungguhnya adalah anak-anak dunia, amanah dari Allah yang mesti dijaga. Sekalipun mereka tidak lahir dari rahim kita.

Saya percaya, selalu ada hikmah di balik setiap realitas yang ditetapkan Allah. Banyaknya wanita lajang pada masa sekarang, mungkin karena Allah menginginkan adanya tangan–tangan terampil, pribadi-pribadi lembut namun perkasa untuk menanggung sebagian beban dunia. Tugas itu diantaranya adalah mengasuh anak-anak yatim, anak-anak jalanan, anak-anak tetangga yang kurang perhatian dan kurang pendidikan moral. Tugas itu diantaranya adalah ikut membenahi kerusakan sosial, kemiskinan, buruknya pendidikan dan aktifitas publik lainnya yang membutuhkan komitmen waktu, kemampuan dan kemandirian seorang wanita.

Mereka butuh kita, para wanita lajang yang mandiri, yang sanggup menafkahi diri sendiri dan orang lain. Yang memiliki perhatian dan kemauan lebih untuk all out terhadap aktifitas yang mungkin tidak bisa dilakukan oleh para wanita yang sudah berumahtangga. Kita bisa tetap memiliki keluarga, meski bukan karena pernikahan. Kita dapat memiliki makna, meski bukan dengan cara menjadi ibu rumah tangga. Kita mampu bisa menjadi manusia seutuhnya melalui usaha kita sendiri, tanpa harus meminta pengertian semua orang, tanpa perlu menuntut dan meminta para lelaki untuk menikahi dan berpoligami. Sekarang tinggal kita tinggal memilih: Mengadopsi anak dari panti asuhan, anak jalanan, anak tetangga? Atau ikut berpartisipasi menjadi orang tua asuh, mendidik anak jalanan, anak-anak TPA, anak tetangga, keponakan, mendirikan taman bacaan? Atau bahkan ‘hanya’ sesedikit apapun, berkontribusi terhadap komunitas dan masyarakat. Mereka adalah juga ‘keluarga’ kita.

Begitulah artikel yang aku dapatkan dari salah satu folder yang dimiliki ade ku. Ga tau dari mana, yang jelas ade ku punya satu folder berisi berbagai macam tulisan, slide, dan sejenisnya yang berbicara mengenai motivasi serta kehidupan. Membaca artikel di atas, yang merupakan salah satu dari sekian banyak tulisan yang dimiliki adeku, membuat aku berpikir bahwa masih melajang di usia yang seharusnya cukup matang untuk menikah (di desaku aku termasuk kategori perawan tua di usia menjelang 24 karena kebanyakan kawan2 seusiaku sudah menikah). Bahkan banyak sekali mereka yang berada di bawah usiaku sudah bersuami dan menimang anak.
Bukan tidak ingin aku menikah sebenarnya, tapi apa daya aku belum dipertemukan dengan laki – laki yang membuatku yakin untuk menjadi pasangan hidupnya. Aku pikir, aku tidak terlalu muluk-muluk dalam mencari seorang pendamping hidup. Cukup dengan seiman,bertanggungjawab, dan mampu menjadi imam untukku dan anak-anakq kelak. Masalah rupa maupun harta bukanlah jadi prioritas utama (meskipun aku ga memungkiri kalau aku menginginkan suami yang mapan dan tampan..^_^). Menjelang usia 24, sosok suami ideal tidaklah seperti saat aku berumur belasan tahun. Benar kata guruku, semakin bertambah umur, kebanyakan standar fisik seorang perempuan terhadap laki – laki yang ia inginkan menjadi suami akan menurun. Bukan menurun dalam artian secara personal, melainkan secara fisik. Masih aku ingat, ketika berusia belasan, sorang suami ideal dalam bayanganku adalah lelaki yang berusia minimal 5 tahun lebih tua dari aku, mapan, ganteng (meskipun ganteng menurut ukuranku) dan sederet persyaratan fisik lainnya. Semakin bertambah umur, syarat tersebut turun satu persatu. Menyisakan tiga yang aku sebutkan tadi.
Sebenarnya aku punya alasan sendiri kenapa sampai saat ini aku memutuskan untuk masih melajang. Bukan tidak ada lelaki yang berniat serius kepadaku, ada beberapa yang pernah mengutarakan niat untuk mengakhiri masa lajang bersamaku. Namun, aku punya banyak pertimbangan sebelum aku memutuskan untuk menikah. Aku belum siap..itu adalah kalimat yang mewakili alasanku untuk tidak menerima beberapa yang berniat untuk serius. Aku belum siap untuk menghadapi hidup dengan orang yang aku tidak yakin bisa hidup bersamanya. Aku belum siap untuk hidup dalam satu atap, 24/7 dengan orang yang sama setiap harinya, aku belum siap secara materi meskipun banyak yang bilang anak punya rejeki masing – masing. Tapi demi Tuhan, bagiku menikah bukanlah sesuatu hal yang main-main. Aku tidak ingin anakku kelak menjalani hidup yang tidak karuan hanya karena nafsu kedua orangtuanya yang terburu-buru mengambil keputusan. Aku ingin melakukan banyak hal yang mungkin akan susah aku lakukan jika aku sudah bersuami. Aku percaya pada Alloh SWT, karena apapun keputusan yang aku ambil sudah kau pikirkan baik-baik.
Aku menginginkan lelaki yang memberiku kepercayaan penuh..dengan begitu aku akan belajar untuk menjaga apa yang ia percayakan. Aku tidak ingin pernikahan mengikatku untuk melakukan banyak hal yang berguna untukku dan orang lain. Kalian tahu sendiri, ada banyak lelaki yang bersikap posesif kepada wanita yang ia cintai. Mengatasnamakan cinta, ia membatasi ruang gerak istri nya untuk beraktifitas. Aku tidak ingin seperti itu. Aku menginginkan suami yang mengerti dan memahami arti keseimbangan. Tidak melarang, tetapi mengingatkan ketika aku keliru, menuntunku saat jalanku tidak lurus, menolongku bangkit saat aku tak mampu berdiri setelah aku terjatuh, mengawasi setiap gerakku, menjadi peganganku saat berada dalam kegelapan…adakah lelaki yang seperti itu?aku sendiri tidak yakin bisa menemukan. Tapi paling ga, komunikasi antara kami akan memudahkanku untuk mengatakan apa yang aku inginkan, begitu juga sebaliknya yang ia lakukan kepadaku.
Ada yang pernah berkata kepadaku, semakin tinggi pendidikan seorang perempuan, maka ruang untuk mendapatkan jodoh akan semakin sempit. Karena banyak lelaki yang aku pikir egois, tidak mau wanitanya memiliki status pendidikan yang lebih tinggi karena dikhawatirkan akan menginjak – injak harga dirinya, menjadi penguasa, tidak menurut kepada suami dan sederet bayangan lainnya. Aku pikir, tidak semua wanita seperti itu. Semua kembali lagi kepada si lelaki, karena di tangannya kendali rumah tangga berada. Lelaki itu harus memiliki ketegasan yang luar biasa, pemahaman bahwa ialah kepala rumah tangga, pengertian bahwa sehebat apapun istrinya di luar, didalam rumah ia tetaplah seorang ibu dan istri yang bertugas melayani suami. Sedari awal memutuskan untuk serius, pastinya hal tersebut harus dikomunikasikan agar nantinya tidak terjadi kesalahpahaman dalam rumah tangga.

No comments:

Post a Comment