Friday, March 25, 2011


Biar Cinta itu Bermuara Dengan Sendirinya....

Kenapa tak pernah kau tambatkan.
perahumu di satu dermaga?
Padahal kulihat, bukan hanya satu.
pelabuhan tenang yang mau menerima.
kehadiran kapalmu!

Kalau dulu memang pernah ada.
satu pelabuhan kecil, yang kemudian.
harus kau lupakan,
mengapa tak kau cari pelabuhan lain,
yang akan memberikan rasa damai yang lebih?

Seandainya kau mau,
buka tirai di sanubarimu, dan kau akan tahu,
pelabuhan mana yang ingin kau singgahi untuk selamanya,
hingga pelabuhan itu jadi rumahmu,
rumah dan pelabuhan hatimu.

(Judul Puisi "Pelabuhan" karya Tyas Tatanka, kumpulan puisi 7 penyair serang)

Matanya berkaca-kaca ketika perempuan itu selesai membaca dan merenungi isi puisi itu. Dulu sekali perempuan itu telah pernah berharap pada seorang laki-laki yang dia yakin baik dan hanif, ada kilasan - kilasan di hatinya yang mengatakan bahwa mungkin dialah sosok yang selama ini dicari.. dialah sosok yang tepat untuk mengisi hari harinya kelak dalam bingkai pernikahan.

Berawal dari sebuah pertemanan. Berdiskusi tentang segala hal, terutama masalah agama. Perempuan itu sedang berproses untuk mendalami agama Islam dengan lebih intens. Dan laki-laki itu, dia paham agama, aktif diorganisasi keislaman, dan masih banyak lagi hal - hal positif yang ada dalam diri lelaki itu. Sehingga kedekatan itu membawa semangat perempuan itu untuk terus menggali ilmu agama.dan mempraktekkannya dalam kesehariannya. Kedekatan itu berlanjut menjadi kedekatan yang intens, berbagi cerita , curahan hati, saling meminta saran, saling bertelepon dan bersms, yang akhirnya segala kehadirannya menjadikan suatu kebutuhan. Kesemuanya itu awalnya mengatasnamakan persahabatan.

Suatu hari salah seorang sahabatnya bertanya "Adakah persahabatan yang murni antara laki-laki dan perempuan dewasa tanpa melibatkan hati dan perasaan terlebih bila sudah muncul rasa simpati, kagum dan kebutuhan untuk sering berinteraksi?" Perempuan itu tertegun dan hanya bisa menjawab " entahlah.."

Sampai suatu hari, laki-laki itu pergi dan menghilang...Awalnya masih memberi kabar. Selebihnya hilang begitu saja. Dan perempuan itu masih berharap dan menunggu untuk suatu yang tak pasti. Karena memang tidak pernah ada komitmen yang lebih jauh diantara mereka berdua. Setiap dia mengenal sosok lelaki lainnya... Selalu dibandingkan dengan sosok laki-laki sahabatnya itu dan tentulah sosok laki - laki sahabatnya itu yang selalu lebih unggul dibanding yang lain. Dan perempuan itu tidak pernah lagi membuka hatinya untuk yang lain. Sampai suatu hari,..

Perempuan itu menyadari kesia-siaan yang dibuatnya. Ia berharap ke sesuatu yang tak pasti hanyalah akan membawa luka dihati... Bukankah banyak hal yang bermanfaat yang bisa dia lakukan untuk mengisi hidupnya kini.... Air mata nya jatuh perlahan dalam sujud panjangnya dikegelapan malam... Dia berjanji untuk tidak mengisi hari - harinya dengan kesia-siaan.

"Lalu bagaimana dengan sosok laki - laki itu ?? "Perlahan saya bertanya padanya.

"Saya tidak akan menyalahkan siapa-siapa, yang salah hanyalah persepsi dan harapan yang terlalu berlebihan dari kedekatan itu, dan proses interaksi yang terlalu dekat sehingga timbul gejolak dihati.... Biarlah hal itu menjadi proses pembelajaran dan pendewasaan bagi saya untuk lebih hati - hati dalam menata hati dan melabuhkan hati," ujarnya dengan diplomatis. Hingga saya menemukan perempuan itu kini benar - benar menepati janjinya.

Dunia perempuan itu kini adalah dunia penuh cinta dengan warna-warna jingga, tawa-tawa pelangi , pijar bintang dimata anak anak jalanan yang menjadi anak didiknya.... Cinta yang dialiri ketulusan tanpa pamrih dari sahabat-sahabat di komunitasnya yang menjadikan perempuan itu produktif dan bisa menghasilkan karya...cinta yang tidak pernah kenal surut dari kedua orang tua dan keluarganya... Dan yang paling hakiki adalah cinta nya pada Illahi yang selalu mengisi relung-relung hati..tempatnya bermunajat disaat suka dan duka... Indahnya hidup dikelilingi dengan cinta yang pasti.

Adakalanya kita begitu yakin bahwa kehadiran seseorang akan memberi sejuta makna bagi isi jiwa. Sehingga.... saat seseorang itu pun hilang begitu saja... Masih ada setangkup harapan agar dia kembali....Walaupun ada kata-katanya yang menyakitkan hati.... akan selalu ada beribu kata maaf untuknya.... Masih ada beribu penantian walau tak pasti... Masih ada segumpal keyakinan bahwa dialah jodoh yang dicari sehingga menutup pintu hati dan sanubari untuk yang lain. Sementara dia yang jauh disana mungkin sama sekali tak pernah memikirkannya. Haruskah mengorbankan diri demi hal yang sia-sia??

Masih ada sejuta asa.... Masih ada sejuta makna.....Masih ada pijar bintang dan mentari yang akan selalu bercahaya dilubuk jiwa dengan menjadi bermakna dan bermanfaat bagi sesama....

"Lalu... bagaimana dengan cinta yang dulu pernah ada?? '' tanya saya suatu hari.

Perempuan itu berujar, " Biarkan cinta itu bermuara dengan sendirinya... disaat yang tepat... dengan seseorang yang tepat.... dan pilihan yang tepat......hanya dari Allah Swt. disaat dihalalkannya dua manusia untuk bersatu dalam ikatatan pernikahan yang barokah.."

Semoga saja akan demikian adanya...

Untuk seorang sahabat.yang tengah meniti masa transisi.

(taken from eramuslim)

catatan tanggal 23 Maret 2011

BAHAGIA MENJADI (ATAU MUNGKIN MASIH???) LAJANG…

Bagi seorang wanita pada umumnya, melajang dalam usia matang sungguh tak nyaman. Betapa pun, menikah adalah kebutuhan fitrah setiap manusia. Tidak terpenuhinya kebutuhan ini sangat bisa jadi menjadi penyebab guncangan jiwa yang bersangkutan. Ditambah lagi budaya dan paradigma yang berkembang di masyarakat yang memojokkan wanita lajang. Perawan tua, tidak laku dan kalimat-kalimat semacamnya menjadi label bagi mereka yang belum menikah. Belum lagi tuntutan dan pertanyaan dari keluarga dan tetangga kiri-kanan tiap ketemu yang bikin sebal,” Kapan menikah?”

Bagi seorang wanita normal, keluarga dan anak-anak adalah harapan dan cita-cita. Keluarga adalah tempat mengabdi yang membawa ketenangan. Anak-anak adalah amanah yang membawa kebahagiaan. Sangat wajar, jika setiap wanita menginginkan adanya fase menikah dalam hidupnya. Tapi masalahnya, menikah tidak bisa dilaksanakan secara sepihak. Menikah membutuhkan pasangan, yang dalam situasi, kondisi dan masa tertentu tidak mudah ditemukan. Karena kriteria yang tak sepadan, karena kuantitas yang tak terpenuhi, maupun karena takdir belum menentukan. Seperti pada masa sekarang, saat wanita lajang di usia matang hampir menjadi fenomena.

Lantas bagaimana?
Bersabar, menunggu dan bertakwa kepada keputusan Allah. Itu yang banyak saya dengar, dan saya sepakati pula. Hal ini barangkali hikmah diperbolehkannya poligami oleh kaum pria, dan mungkin sudah tiba masanya. Ini pendapat lain, yang saya juga tidak menolaknya. Namun, apakah hanya itu? Saya kira masih ada alternatif lain, yang lebih progresif bukan pasif dan bisa dilakukan secara mandiri oleh seorang wanita. Saya teringat sebuah kisah tentang seorang muslimah perkasa di punggung Gunung Kidul. Wanita itu sangat aktif utamanya dalam kegiatan dakwah dan sosial. Dengan sepeda motornya ia menjelajahi pelosok desa, mengisi kajian dan memberikan penyuluhan di kampung-kampung miskin dan desa-desa terpencil. Ia menjadi panutan, ia menjadi konsultan, ia menjadi acuan, ia menjadi tempat orang-orang lugu itu meminta nasihat. Muslimah itu, masih lajang dalam usianya yang 35 tahun. Muslimah itu, mengasuh tiga anak yatim dengan kemampuannya sendiri. Muslimah itu, tidak kesepian karena ia punya ‘keluarga’. Wanita itu tak kehilangan fitrah kewanitaannya karena ia punya ‘anak-anak’ tempat ia mencurahkan cinta dan perhatian. Muslimah itu tidak digugat kesendiriannya karena ia menebar manfaat.

Membaca kisahnya, banyak inspirasi yang bisa diambil oleh kaum wanita, dan saya pun ingin meneladaninya. Apa yang dilakukan muslimah tersebut bisa menjadi salah satu alternatif jawaban atas problema banyaknya wanita-muslimah khususnya- berusia matang yang belum menikah. Apa yang dilakukan si muslimah perkasa, memberikan hikmah yang banyak bagi kemanusiaan.

Jika kita renungKan, menjadi lajang bukanlah sebuah aib dan dukacita. Menjadi lajang membuka pintu-pintu amal dan manfaat bagi diri dan masyarakat, seperti halnya yang dilakukan si muslimah. Seorang wanita lajang akan lebih mudah bergerak dan beraktifitas karena ia tak dibebani tugas-tugas kerumahtanggaan. Seorang wanita lajang akan bisa lebih banyak berbakti kepada masyarakat dengan modal waktu, peluang dan kemampuan yang ia miliki. Berapa banyak selama ini aktifitas sosial masyarakat yang mandeg karena ditinggal pengasuhnya (yang seorang wanita) menikah? Berapa banyak aktifitas yang masih terus berkembang karena penyandangnya ‘alhamdulillah’ masih lajang dan punya waktu banyak untuk berkomitmen?

Lantas bagaimana memenuhi kebutuhan fitrah sebagai wanita? Bukankah pintu tebuka lebar juga? Lihat, betapa banyak anak-anak di dunia ini yang butuh asuhan, pendidikan dan usapan tangan lembut kaum wanita? Apalagi di Jakarta yang sedemikian tua dan menyimpan banyak problema terutama berkaitan dengan anak jalanan, anak miskin, anak yatim dan anak-anak yang kurang dalam pendidikan dan asuhan.

Dalam kesendirian dan kemandirian kaum wanita, barangkali Allah memang mengirimkan mereka untuk anak-anak tak mampu, untuk dididik, untuk diasuh. Mereka adalah anak-anak kita juga, begitu Emha Ainun Najib pernah mengatakan dalam salah satu tulisannya di buku Markesot Bertutur. Anak-anak sesungguhnya adalah anak-anak dunia, amanah dari Allah yang mesti dijaga. Sekalipun mereka tidak lahir dari rahim kita.

Saya percaya, selalu ada hikmah di balik setiap realitas yang ditetapkan Allah. Banyaknya wanita lajang pada masa sekarang, mungkin karena Allah menginginkan adanya tangan–tangan terampil, pribadi-pribadi lembut namun perkasa untuk menanggung sebagian beban dunia. Tugas itu diantaranya adalah mengasuh anak-anak yatim, anak-anak jalanan, anak-anak tetangga yang kurang perhatian dan kurang pendidikan moral. Tugas itu diantaranya adalah ikut membenahi kerusakan sosial, kemiskinan, buruknya pendidikan dan aktifitas publik lainnya yang membutuhkan komitmen waktu, kemampuan dan kemandirian seorang wanita.

Mereka butuh kita, para wanita lajang yang mandiri, yang sanggup menafkahi diri sendiri dan orang lain. Yang memiliki perhatian dan kemauan lebih untuk all out terhadap aktifitas yang mungkin tidak bisa dilakukan oleh para wanita yang sudah berumahtangga. Kita bisa tetap memiliki keluarga, meski bukan karena pernikahan. Kita dapat memiliki makna, meski bukan dengan cara menjadi ibu rumah tangga. Kita mampu bisa menjadi manusia seutuhnya melalui usaha kita sendiri, tanpa harus meminta pengertian semua orang, tanpa perlu menuntut dan meminta para lelaki untuk menikahi dan berpoligami. Sekarang tinggal kita tinggal memilih: Mengadopsi anak dari panti asuhan, anak jalanan, anak tetangga? Atau ikut berpartisipasi menjadi orang tua asuh, mendidik anak jalanan, anak-anak TPA, anak tetangga, keponakan, mendirikan taman bacaan? Atau bahkan ‘hanya’ sesedikit apapun, berkontribusi terhadap komunitas dan masyarakat. Mereka adalah juga ‘keluarga’ kita.

Begitulah artikel yang aku dapatkan dari salah satu folder yang dimiliki ade ku. Ga tau dari mana, yang jelas ade ku punya satu folder berisi berbagai macam tulisan, slide, dan sejenisnya yang berbicara mengenai motivasi serta kehidupan. Membaca artikel di atas, yang merupakan salah satu dari sekian banyak tulisan yang dimiliki adeku, membuat aku berpikir bahwa masih melajang di usia yang seharusnya cukup matang untuk menikah (di desaku aku termasuk kategori perawan tua di usia menjelang 24 karena kebanyakan kawan2 seusiaku sudah menikah). Bahkan banyak sekali mereka yang berada di bawah usiaku sudah bersuami dan menimang anak.
Bukan tidak ingin aku menikah sebenarnya, tapi apa daya aku belum dipertemukan dengan laki – laki yang membuatku yakin untuk menjadi pasangan hidupnya. Aku pikir, aku tidak terlalu muluk-muluk dalam mencari seorang pendamping hidup. Cukup dengan seiman,bertanggungjawab, dan mampu menjadi imam untukku dan anak-anakq kelak. Masalah rupa maupun harta bukanlah jadi prioritas utama (meskipun aku ga memungkiri kalau aku menginginkan suami yang mapan dan tampan..^_^). Menjelang usia 24, sosok suami ideal tidaklah seperti saat aku berumur belasan tahun. Benar kata guruku, semakin bertambah umur, kebanyakan standar fisik seorang perempuan terhadap laki – laki yang ia inginkan menjadi suami akan menurun. Bukan menurun dalam artian secara personal, melainkan secara fisik. Masih aku ingat, ketika berusia belasan, sorang suami ideal dalam bayanganku adalah lelaki yang berusia minimal 5 tahun lebih tua dari aku, mapan, ganteng (meskipun ganteng menurut ukuranku) dan sederet persyaratan fisik lainnya. Semakin bertambah umur, syarat tersebut turun satu persatu. Menyisakan tiga yang aku sebutkan tadi.
Sebenarnya aku punya alasan sendiri kenapa sampai saat ini aku memutuskan untuk masih melajang. Bukan tidak ada lelaki yang berniat serius kepadaku, ada beberapa yang pernah mengutarakan niat untuk mengakhiri masa lajang bersamaku. Namun, aku punya banyak pertimbangan sebelum aku memutuskan untuk menikah. Aku belum siap..itu adalah kalimat yang mewakili alasanku untuk tidak menerima beberapa yang berniat untuk serius. Aku belum siap untuk menghadapi hidup dengan orang yang aku tidak yakin bisa hidup bersamanya. Aku belum siap untuk hidup dalam satu atap, 24/7 dengan orang yang sama setiap harinya, aku belum siap secara materi meskipun banyak yang bilang anak punya rejeki masing – masing. Tapi demi Tuhan, bagiku menikah bukanlah sesuatu hal yang main-main. Aku tidak ingin anakku kelak menjalani hidup yang tidak karuan hanya karena nafsu kedua orangtuanya yang terburu-buru mengambil keputusan. Aku ingin melakukan banyak hal yang mungkin akan susah aku lakukan jika aku sudah bersuami. Aku percaya pada Alloh SWT, karena apapun keputusan yang aku ambil sudah kau pikirkan baik-baik.
Aku menginginkan lelaki yang memberiku kepercayaan penuh..dengan begitu aku akan belajar untuk menjaga apa yang ia percayakan. Aku tidak ingin pernikahan mengikatku untuk melakukan banyak hal yang berguna untukku dan orang lain. Kalian tahu sendiri, ada banyak lelaki yang bersikap posesif kepada wanita yang ia cintai. Mengatasnamakan cinta, ia membatasi ruang gerak istri nya untuk beraktifitas. Aku tidak ingin seperti itu. Aku menginginkan suami yang mengerti dan memahami arti keseimbangan. Tidak melarang, tetapi mengingatkan ketika aku keliru, menuntunku saat jalanku tidak lurus, menolongku bangkit saat aku tak mampu berdiri setelah aku terjatuh, mengawasi setiap gerakku, menjadi peganganku saat berada dalam kegelapan…adakah lelaki yang seperti itu?aku sendiri tidak yakin bisa menemukan. Tapi paling ga, komunikasi antara kami akan memudahkanku untuk mengatakan apa yang aku inginkan, begitu juga sebaliknya yang ia lakukan kepadaku.
Ada yang pernah berkata kepadaku, semakin tinggi pendidikan seorang perempuan, maka ruang untuk mendapatkan jodoh akan semakin sempit. Karena banyak lelaki yang aku pikir egois, tidak mau wanitanya memiliki status pendidikan yang lebih tinggi karena dikhawatirkan akan menginjak – injak harga dirinya, menjadi penguasa, tidak menurut kepada suami dan sederet bayangan lainnya. Aku pikir, tidak semua wanita seperti itu. Semua kembali lagi kepada si lelaki, karena di tangannya kendali rumah tangga berada. Lelaki itu harus memiliki ketegasan yang luar biasa, pemahaman bahwa ialah kepala rumah tangga, pengertian bahwa sehebat apapun istrinya di luar, didalam rumah ia tetaplah seorang ibu dan istri yang bertugas melayani suami. Sedari awal memutuskan untuk serius, pastinya hal tersebut harus dikomunikasikan agar nantinya tidak terjadi kesalahpahaman dalam rumah tangga.

Sunday, March 20, 2011

maaf..untuk tangisan hari ini Tuhan...

Kemarin aku mendapatkan keputusan itu,,,ya, jadwal seminarku. Di SK yang tertulis aku mendapatkan jadwal tanggal 19 Mei 2011 sebagai tanggal seminarku..
2 bulan lagi, sama seperti waktu S1 dulu bulan Mei menjadi bulan perjuangan tesisku..
Tuhan, bukan masalah hari yang membuatku berpikir,,aku siap menghadapi apapun harinya. Aku siap memperjuangkan segalanya ketika hari itu tiba. Hanya aku berpikir tentang bapak, gmana bapak harus nyiapin duit 10 juta dalam waktu 2 bulan ini..apa yang harus aku lakukan Tuhan?aku kasihan sama bapak..ini juga yang membuatku mandeg mengerjakan tesis yang seharusnya sudah bisa kuselesaikan..aku mungkin salah karena tak bisa membuat diriku sendiri kebal dengan keadaan ini…seandainya aku boleh milih, mungkin aku memilih buat ga kuliah dulu daripada ngebebanin bapak kaya gini. Bapak emang ga pernah ngeluh sama aku, ga pernah bilang apa-apa. Tapi aku tahu Tuhan, bapak mikirin semua. Bapak emang selalu bilang semua pasti ada rejekinya nanti. Bapak ngusahain semua yang aku butuhin. Tuhan, aku selalu berusaha buat bersikap biasa, aku menciptakan benteng agar orang lain ga tau..aku membuat diriku seperti yang mereka kenal, aku yang seperti biasa, aku yang ga berbeda dengan yang lainnya. Bagiku, kesedihan bukanlah untuk dibagi selama aku masih mampu menanggungnya sendiri. Berbeda dengan kebahagiaan yang memang harus dibagi..
Hanya saja, saat sendirian, saat mikirin semuanya, saat keinget bapak aku ga bisa menahan semuanya Tuhan. Ijinkan aku menangis untuk ini Tuhan..
Mengingat bapak, mengingat semua yang harus dia lakukan, mengingat apa yang harus diusahakan agar aku tumbuh tak berbeda dengan yang lainnya di tengah keterbatasan yang kami punya membuatku merasa sedih. Aku tak bisa melakukan apa-apa…perasaanku sebagai seorang anak mengatakan bahwa aku tak berharga, Cuma bisa bikin susah bapak…Tuhan, aku melihat bapak dengan rambut yang semakin memutih, tubuh yang lebih kurus dari sebelumnya,bapak yang semakin menua..
Aku memang tak menyesali segalanya Tuhan, karena bagiku semua memang sudah menjadi jalan yang harus aku tempuh.meski aku tak terlahir dari keluarga berada, meski bapak harus susah payah untuk menyekolahkanku sampai saat ini, meskipun aku tak bisa seperti yang lainnya, aku sangat bersyukur atas segalanya..Kau memberiku seorang bapak yang ga akan bisa ditukar dengan semua harta yang ada di dunia ini.
Tuhan, ijinkan aku menangis kali ini..untuk segala yang bapak korbankan buat aku, untuk aku yang belum mampu membuat bapakku bahagia..untuk aku yang belum mampu membuat ia bangga..
Ijinkan aku menangis Tuhan, untuk kali ini….